Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Archives

Senin, Agustus 24, 2009

Hadits-Hadits Dhaif Seputar Bulan Ramadhan

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah.
Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits- hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan:

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan takwilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu Sunnah. Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits- hadits dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.

Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walaupun sedikit perhatianpun, walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan yang shahih yang menyingkap yang bathil. Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan mashyur di kalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan yang tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat…” (riwayat Bukhari 6/361), dan sabda beliau: “Agama itu nasehat…”(riwayat Muslim no.55)

Maka kami katakan wabillahi taufiq:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif. Semoga Allah merahmati Al Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: “(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya.” Jadikanlah imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup) kita.

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia pada bulan Ramadhan diantaranya:

1. “Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya…” Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Mauduat (2/188-189) dan Abul Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/ tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud Al Ghifari.

Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata: “Masyhur dengan kelemahannya.” Juga dinukilkan perkataan Abu Nu’aim, “Dia suka memalsukan hadits,” dan Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An Nasa’i, “matruk (ditinggalkan) haditsnya.”

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al Bajali.”

2. “Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara wajib pada bulan yang lain…. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka…” sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al Ashbahani dalam At Targhib (q/178, tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya,” berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak kuat,” berkata Ibnu Ma’in, “Dhaif” berkata Ibnu Abi khaitsamah, “Lemah di segala penjuru,” dan, berkata Ibnu Khuzaimah, “Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya.”

Demikianlah di dalam Tahdizbut Tahdzib (7/322-323). Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, “Jika benar kabarnya.” Berkata Ibnu Hajar di dalam Al Athraf, “Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah,” sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As Suyuthi di dalam Jam’ul Jawami’ (no. 23714-tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (1/249), “Hadits yang mungkar.”

3. “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh At Thabrani di dalam Al Ausath (1/q 69/ Al Majma’ul Bahrain) dan Abu Nu’aim di dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah.

Berkata Abu Bakar Al Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair -pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam- pent) yang dhaif itu,” Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia.” Al Ajalaiy berkata, “Hadits-hadits yang mereka riwayatkan dari ahli Syam ini tidak membuatku kagum,” demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/427).

Aku katakan: dan Muhammad bin Sulaiaman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaiman dinaskhkan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna- makna yang benar, yang sesuai dengan syari’at kita yang lurus baik dari Al Qur’an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad ini dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya (yakni Al Isnad) adalah: “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar.”

Mudah-mudahan Allah memberi rizki pada kami kebaikannya. Wahai saudaraku yang haus akan ketaatan kepada Allah, inilah sifat puasa Nabi dihadapanmu. Dan inilah petunjuknya dalam puasa Ramadhan, bersegeralah kepada kebaikan.

4. "Tidurnya orang yang berpuasa itu dianggap ibadah, dan diamnya merupakan tasbih, dan amalnya (diganjari) berlipat ganda, dan do'anya mustajab, sedang dosanya diampuni" [Riwayat : Baihaqy di kitabnya Su'abul Iman, dari jalan Abdullah bin Abi Aufa]

Hadits ini sering sekali kita dengar di bulan ramadhan dan banyak orang menjadikan hadits ini sebagai hujjah dan alasan bahwa tidur di bulan ramadhan adalah ibadah.

Hadits ini derajadnya sangat Dla'if atau Maudlu'. Karena di sanadnya
ada Sulaiman bin Umar An-Nakha'i, salah seorang pendusta (baca :
Faidlul Qadir No. 9293).

Hadits dha'if sebenarnya masih bisa diamalkan sesuai syarat Ibnu
Hajar, namun jika tidak ditemukan syawahidnya maka tidak bisa
dijadikan pegangan. Justru yang menguatkan hadits di atas tersebut
adalah hadits-hadits dengan derajat yang sama yaitu dha'if juga
antara lain:

Orang yang berpuasa itu tetap didalam ibadat meskipun ia tidur di
atas kasurnya".
[Riwayat : Tamam]

Sanad Hadits ini dha'if. Karena di sanadnya ada : Yahya bin Abdullah
bin Zujaaj dan Muhammad bin Harun bin Muhammad bin Bakkar bin Hilal.
Kedua orang ini gelap keadaannnya karena kita tidak jumpai
keterangan tentang keduanya di kitab-kitab Jarh Wat-Ta'dil Ibnu Abi
Hatim (yaitu kitab yang menerangkan cacat/cela dan pujian tiap-tiap
rawi hadits). Selain itu di sanad hadits ini juga ada Hasyim bin Abi
Hurairah Al-Himsi seorang rawi yang Majhul (tidak dikenal keadaannya
dirinya). Sebagaimana diterangkan Imam Dzahabi di kitabnya Mizanul
I'tidal, dan Imam 'Uqail berkata : Munkarul Hadits !!

Kemudian hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh
Dailami di kitabnya Musnad Firdaus dari jalan Anas bin Malik yang
lafadznya sebagai berikut :

"Orang yang berpuasa itu tetap di dalam ibadat meskipun ia tidur
diatas kasurnya".


Sanad hadits ini Maudlu'/Palsu. Karena ada seorang rawi yang bernama
Muhammad bin Ahmad bin Suhail, dia ini seorang yang tukang pemalsu
hadits, demikian diterangkan Imam Dzahabi di kitabnya Adl-Dluafa.

Bisa dilihat di Silsilah Ahaadist Dla'if wal Maudl'uah No. 653,
Faidlul Qadir No. hadits 5125.

Hadist yang menyatakan bahwa: "Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah..." adalah sangat lemah (dha'if) dan bahkan sampai pada derajat hadits palsu.

Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy-Syu'ab Al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).

Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif tetapi sudah sampai derajat hadits maudhu' (palsu).

Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadits nabawi. Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadits.

Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, yaitu bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadits.

Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga semakin menguatkan kepalsuan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadits.

Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma'in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemasu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah “manusia paling pendusta di muka bumi ini!”

Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh kita yang satu ini. Belaiu mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu haditsnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta.

Saking tercelanya perawi hadits ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadtis dari Sualiman bin Amr.

Iman Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, “Sulaiman bin AmrAn-Nakha””i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin minal muhadditsin wadhdhu””afa wal-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanul I””tidal.

Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.

Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah SAW pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk tidur.

Kalau pun ada istilah qailulah, maka prakteknya Rasulullah SAW hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan.

Wasubhaanakallahu wa bihamdika, asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaika.

Sumber : Ikhtisar Shifati Shaumin Nabiyyi SAW Fii Ramadhan

Oleh : Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

0 komentar:

Posting Komentar